Bab 1 Cinta Terlarang Mertua dengan Menantu

Table of Contents

 

Cinta Terlarang Mertua dengan Menantu

Bab 1 – Kedatangan yang Mengubah Segalanya

Sore itu langit mendung. Gerimis turun pelan-pelan, membasahi halaman rumah besar bercat putih di ujung gang. Andini berdiri di teras, menatap butiran air yang jatuh dari atap seperti benang-benang tipis yang putus. Aroma tanah basah menguar, bercampur wangi daun mangga yang terguncang angin.

Di tangannya, koper besar masih tergenggam. Hari ini adalah awal dari kehidupannya yang baru: tinggal di rumah keluarga suaminya, Bagas. Mereka menikah tiga bulan lalu, dan setelah banyak pertimbangan, memutuskan pindah ke rumah ini demi membantu merawat ayah Bagas yang tinggal sendirian.

Pintu besar di depannya terbuka. Muncullah sosok lelaki berusia sekitar lima puluh lima tahun, tegap, berwajah teduh namun berwibawa. Matanya tajam tapi tak mengintimidasi. Ia mengenakan kemeja putih yang digulung sampai siku.
“Andini?” suaranya dalam, hangat.
Andini tersenyum sopan. “Iya, Pak.”

Pak Surya — ayah mertua Andini — mengulurkan tangan. Genggamannya hangat, sedikit kuat. “Selamat datang di rumah ini. Anggap saja rumah sendiri,” katanya, dengan nada yang entah mengapa membuat Andini sedikit gugup.

Begitu masuk, aroma kayu jati tua menyambutnya. Lantai mengilap, dinding penuh foto keluarga. Di salah satu foto, tampak seorang perempuan cantik tersenyum, memeluk dua anak laki-laki kecil. Itu pasti almarhumah istri Pak Surya, yang kata Bagas meninggal lima tahun lalu.

Bagas membantu membawa koper ke kamar. “Kita di lantai atas. Pemandangannya langsung ke taman,” katanya. Andini mengangguk, tapi matanya sempat menangkap tatapan Pak Surya dari ruang tamu. Tatapan itu bukan sekadar sopan atau basa-basi. Ada sesuatu di baliknya — sulit dijelaskan.

Malamnya, saat makan bersama, suasana hangat terasa. Pak Surya banyak bercerita tentang kebun belakang, tentang masa kecil Bagas, tentang istrinya yang pandai membuat sayur asem. Andini mendengarkan sambil tersenyum, sesekali tertawa. Namun di sela-sela obrolan, ia merasa ada momen ketika tatapan Pak Surya berhenti padanya sedikit lebih lama dari seharusnya.

Setelah makan, Andini membantu merapikan meja. “Tidak usah repot, biar Bapak saja,” kata Pak Surya sambil mengambil piring dari tangannya. Jari mereka bersentuhan, dan meski hanya sepersekian detik, Andini merasa jantungnya berdegup lebih kencang.

Malam itu, di kamar, Andini mencoba menenangkan pikirannya. Ah, mungkin aku hanya terlalu lelah, batinnya. Namun entah kenapa, bayangan tatapan Pak Surya terus saja menghampiri sebelum ia terlelap.

>>BAB SELANJUTNYA