Bab 2 Cinta Terlarang Mertua dengan Menantu

Table of Contents

 

Cinta Terlarang Mertua dengan Menantu

Bab 2 – Tatapan yang Tersimpan

Pagi itu, hujan turun deras membangunkan Andini lebih awal dari biasanya. Suara air yang memukul atap seperti jutaan jari mengetuk-ngetuk dengan nada tergesa. Udara dingin merayap masuk melalui celah jendela, membuatnya enggan beranjak dari selimut. Namun aroma kopi dari dapur memanggilnya untuk turun.

Di ruang makan, Pak Surya sudah duduk dengan koran di tangannya, mengenakan kaus abu-abu sederhana. Asap tipis mengepul dari cangkir kopi di hadapannya.
“Pagi, Andini,” ucapnya, menoleh sekilas sambil tersenyum. Senyum itu… lagi-lagi memberi rasa aneh di dada Andini, semacam campuran antara hangat dan gugup.

Andini membalas dengan sopan, “Pagi, Pak.” Ia melangkah ke dapur, membantu menyiapkan sarapan. Bagas masih tertidur di atas, kelelahan setelah perjalanan dinas semalam.

Saat Andini memotong roti, Pak Surya masuk mengambil teko teh dari meja. “Boleh saya bantu?” tanyanya.
“Tidak usah, Pak, saya bisa sendiri.”
Tapi Pak Surya tetap mengambil piring dari rak, berdiri cukup dekat sehingga Andini bisa merasakan kehangatan tubuhnya di belakang. Ia buru-buru mundur sedikit, berusaha menjaga jarak.

Di luar, hujan semakin deras. Angin meniup aroma tanah basah masuk ke dapur. Pak Surya meletakkan piring di meja, lalu memandang ke luar jendela. “Dulu, almarhumah istri saya suka sekali suasana begini,” katanya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Katanya, hujan itu membawa kenangan.”

Andini hanya tersenyum tipis. Ia tidak tahu harus menanggapi apa. Namun ketika ia menoleh, mata mereka bertemu. Tatapan itu… panjang, tenang, tapi penuh sesuatu yang tak diucapkan. Seakan ada cerita yang ingin keluar, tapi terkunci rapat.

Tatapan itu membuat Andini buru-buru kembali memotong roti, mencoba mengalihkan perhatian. Tapi di dalam hatinya, ada getaran yang tak bisa ia abaikan.

Siang harinya, ketika hujan mulai reda, Andini duduk di ruang tamu sambil menyulam. Pak Surya duduk di sofa seberang, membaca koran. Kadang ia bertanya tentang kabar keluarga Andini di kampung, tentang pekerjaan lamanya sebelum menikah. Obrolan itu terasa wajar… tapi setiap kali Andini mengangkat wajahnya, ia kembali menemukan mata Pak Surya menatapnya. Tidak selalu langsung — kadang dari sudut mata — tapi cukup sering untuk membuatnya sadar bahwa ada sesuatu di balik perhatian itu.

Malamnya, Andini menceritakan sedikit pada dirinya sendiri di buku harian.
"Kenapa aku merasa gugup kalau Pak Surya melihatku seperti itu? Apakah aku hanya berlebihan? Bagas pasti akan marah besar kalau tahu aku bahkan memikirkan ini."

Ia menutup buku, memeluk lutut di tepi ranjang. Hatinya resah. Di satu sisi, ia tahu ini salah. Di sisi lain, ada rasa ingin tahu yang mulai tumbuh — rasa yang tak seharusnya ada di antara menantu dan mertua.

BAB SEBELUMNYA<< >>BAB SELANJUTNYA