Bab 3 Cinta Terlarang Mertua dengan Menantu

Table of Contents

 

Cinta Terlarang Mertua dengan Menantu

Bab 3 – Rahasia di Tengah Malam

Malam itu hujan kembali turun. Tidak deras, hanya rintik-rintik kecil yang terdengar seperti bisikan di luar jendela. Listrik di rumah tiba-tiba padam sekitar pukul sembilan malam, membuat seluruh ruangan gelap kecuali cahaya samar dari lilin yang Andini nyalakan di meja makan.

Bagas sedang dinas luar kota selama dua hari. Rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Andini duduk di meja, membaca buku dengan penerangan seadanya. Udara malam yang lembap membuatnya merapatkan cardigan ke tubuh.

Suara langkah kaki dari arah ruang tamu membuatnya menoleh. Pak Surya muncul, membawa lilin di tangan. Wajahnya diterangi cahaya kuning yang bergetar, menimbulkan bayangan samar di dinding.
“Tidak bisa tidur?” tanyanya sambil tersenyum kecil.

Andini menggeleng. “Masih belum mengantuk, Pak. Listrik mati jadi agak susah tidur.”
Pak Surya mengangguk, lalu duduk di sofa. Di pangkuannya, ia meletakkan sebuah bingkai foto. Andini memperhatikan, itu adalah foto dirinya bersama seorang perempuan cantik berwajah lembut — pasti almarhumah istrinya.

“Saya sering begini kalau malam,” ucap Pak Surya pelan, seperti sedang berbicara kepada orang yang tak terlihat. “Melihat foto ini… kadang bisa membuat saya merasa dekat dengannya lagi. Tapi kadang, malah membuat rasa sepi semakin dalam.”

Andini ragu untuk menjawab. Ada kesedihan yang kental di suaranya, membuatnya ingin menghibur. Ia mendekat, duduk di kursi sebelah sofa. “Ibu pasti sangat menyayangi Bapak,” katanya dengan suara lembut.

Pak Surya tersenyum tipis. “Ya… dia perempuan yang baik. Kehilangannya membuat saya belajar satu hal: hidup ini tidak pernah memberi tahu kapan waktu kita habis.”

Sejenak, mereka hanya diam. Hujan di luar seperti mengisi keheningan. Lilin berkedip, dan bayangan mereka menari di dinding. Andini menyadari jarak mereka cukup dekat, cukup untuk merasakan aroma sabun dan kopi yang samar dari tubuh Pak Surya.

“Terima kasih sudah mau tinggal di sini, Andini,” ucapnya tiba-tiba. “Kehadiranmu membuat rumah ini terasa hidup lagi.”
Andini menunduk. “Saya senang bisa membantu.”

Namun saat ia menatap, mata Pak Surya terpaku padanya — tatapan itu bukan tatapan ayah kepada menantu, melainkan tatapan seorang pria kepada perempuan yang ia kagumi. Andini merasa darahnya berdesir. Ia buru-buru berdiri, pura-pura membereskan lilin.

“Baiklah, saya… mau ke kamar dulu, Pak,” katanya terbata.
Pak Surya hanya mengangguk, tapi senyum tipisnya tetap melekat.

Di kamar, Andini menutup pintu, bersandar pada dinding, mencoba mengatur napas. Ia sadar, malam ini ada sesuatu yang berubah. Sebuah rahasia yang lahir di tengah gelapnya malam dan cahaya lilin, rahasia yang hanya mereka berdua ketahui. 

BAB SEBELUMNYA<< >>BAB SELANJUTNYA