Bab 4 Cinta Terlarang Mertua dengan Menantu
Bab 4 – Bisik yang Menggetarkan
Pagi itu udara segar masuk dari jendela dapur. Hujan semalam meninggalkan aroma tanah basah dan dedaunan yang baru saja dibersihkan alam. Matahari mulai menyelinap di antara awan, membuat kebun belakang rumah terlihat lebih hidup.
Andini berdiri di dekat meja dapur, memotong sayuran untuk makan siang. Musik lembut dari radio tua mengalun pelan, mengisi keheningan. Bagas masih di luar kota, sehingga pagi itu hanya ia dan Pak Surya di rumah.
Pak Surya masuk dari pintu belakang, membawa beberapa ikat daun kemangi dan cabai dari kebun. “Pagi, Andini,” ucapnya sambil tersenyum. Kemeja biru yang ia kenakan sedikit basah di bagian lengan, mungkin karena embun.
“Pagi, Pak. Wah, cabainya segar sekali,” balas Andini.
Pak Surya menaruh hasil kebun di meja. Ia berdiri agak dekat, cukup untuk membuat Andini merasakan bayangan tubuhnya. Tanpa sadar, ia sedikit menunduk mendekat, berbicara dengan suara yang lebih pelan.
“Andini… kau tahu? Dari semua orang yang pernah menginjakkan kaki di rumah ini… hanya kau yang membuatnya terasa seperti dulu lagi.”
Andini terdiam, jarinya berhenti memotong sayur. Ia menelan ludah, tak tahu harus merespons seperti apa.
Pak Surya melanjutkan, “Senyummu… caramu berbicara… entah kenapa mengingatkanku pada seseorang.”
Andini mencoba tersenyum kaku. “Mungkin mengingatkan pada Ibu?”
Pak Surya menatapnya dalam. “Ya… dan juga… mengingatkanku pada rasa yang dulu pernah ada.”
Kata-kata itu membuat napas Andini tercekat. Ia memalingkan wajah, pura-pura sibuk menata sayuran. “Pak… kita tidak seharusnya membicarakan hal seperti ini,” ucapnya pelan, suaranya nyaris tak terdengar.
Pak Surya mendekat sedikit lagi, suaranya nyaris berbisik di telinganya. “Aku tahu ini salah, Andini. Tapi aku tak bisa membohongi diriku sendiri.”
Detik itu, Andini merasakan debaran di dadanya semakin kencang. Ada rasa takut, bersalah, tapi juga… sesuatu yang lain, yang membuat lututnya lemas. Ia mengambil napas panjang, mencoba menguasai diri.
“Pak, saya harus lanjut masak,” katanya cepat, lalu mengambil panci untuk mengalihkan situasi.
Pak Surya hanya mengangguk, namun sorot matanya tetap sama — hangat, dalam, dan berbahaya.
Siang itu, saat makan bersama, mereka berusaha bersikap seperti biasa. Namun setiap kali mata mereka bertemu, Andini merasa seolah kata-kata yang diucapkan pagi tadi masih menggantung di udara, tak hilang meski ia mencoba mengabaikannya.
Malamnya, di kamarnya sendiri, Andini memeluk bantal dan memejamkan mata. Ia tahu, sejak bisikan itu, jarak mereka sudah tak lagi sama. Ada garis tipis yang telah mereka lewati, dan ia takut… garis itu akan membawa mereka pada sesuatu yang tak bisa dihapus.
BAB SEBELUMNYA<< >>BAB SELANJUTNYA
