Bab 10 Cinta Terlarang Mertua dengan Menantu

Table of Contents

 

Cinta Terlarang Mertua dengan Menantu

Bab 10 – Luka yang Disimpan

Bertahun-tahun telah berlalu. Rumah besar itu kini dipenuhi tawa anak-anak Andini dan Bagas, yang tumbuh ceria dan penuh energi. Rutinitas pagi kembali normal: sarapan bersama, bercanda di halaman, dan membahas rencana harian. Semua terlihat sempurna, harmonis, dan damai.

Andini duduk di balkon lantai dua, menatap matahari terbenam. Sore itu, langit memerah keemasan, seolah menutup hari dengan hangat. Ia tersenyum tipis, menatap anak-anak bermain, mendengar suara Bagas memanggil mereka, dan merasa hatinya tenang. Namun di sudut pikirannya, bayangan masa lalu tetap hadir.

Bayangan itu bukan untuk dirindukan, bukan juga untuk menyesali. Ia teringat hujan sore itu, tatapan Pak Surya, pengakuan yang tak sempat diikuti. Semua itu kini tersimpan rapi di dalam hatinya, sebagai luka yang menjadi pelajaran. Sebuah luka yang mengingatkan bahwa cinta tidak selalu tentang memiliki, tapi kadang tentang melepaskan demi kebaikan yang lebih besar.

Di suatu sore lain, Andini menerima kabar bahwa Pak Surya datang ke kota, hanya untuk urusan singkat. Mereka bertemu sebentar di sebuah taman, menjaga jarak namun tersenyum saling menyapa. Tidak ada kata romantis, tidak ada tatapan menggoda. Hanya kehangatan seorang ayah dan seorang menantu yang saling menghargai batasan mereka.

Andini menyadari sesuatu yang penting: hidup terus berjalan. Orang-orang yang kita cintai, dan perasaan yang pernah hadir, tidak selalu harus berakhir dalam kepemilikan atau kesedihan. Kadang, keindahan terbesar adalah ketika kita mampu menyimpan kenangan dengan damai, menjaga hati sendiri, dan tetap setia pada tanggung jawab.

Hujan turun lagi di sore itu, ringan dan menenangkan. Andini tersenyum, menutup mata sejenak, merasakan tetes air yang jatuh di pipinya. Ia tahu, luka itu tidak akan hilang sepenuhnya. Tapi ia kini lebih kuat. Luka itu telah menjadi bagian dari dirinya, sebuah pengingat tentang keputusan, pengorbanan, dan cinta yang sejati — cinta yang memilih melindungi daripada merusak.

Dan di suatu tempat jauh, Pak Surya mungkin juga menatap hujan, mengingat seorang menantu yang pernah ia kagumi, namun kini ia tahu cinta mereka tetap berada di jalur yang benar. Mereka telah memilih dengan bijak, dan waktu membuktikan bahwa hati yang disiplin pada kebaikan akan selalu menemukan kedamaian.

Novel ini berakhir dengan ketenangan, meninggalkan pembaca dengan rasa haru, pembelajaran tentang cinta, dan pemahaman bahwa tidak semua cinta harus dimiliki untuk terasa indah. 

BAB SEBELUMNYA<<