Bab 7 Cinta Terlarang Mertua dengan Menantu
Bab 7 – Keputusan yang Menyakitkan
Minggu itu terasa berat bagi Andini. Setiap pagi ia mencoba menjalani rutinitas seperti biasa, tapi bayangan tatapan Pak Surya terus menghantui pikirannya. Setiap senyum, setiap kata yang diucapkan lelaki itu, terasa menggetarkan hati meski ia berusaha menolaknya.
Pak Surya pun merasakan hal yang sama. Semakin ia menjaga jarak secara fisik, semakin jelas bahwa perasaan ini tidak bisa dengan mudah ia hapus. Namun ia tahu satu hal: jika ia terus dekat dengan Andini, bukan hanya hatinya sendiri yang akan hancur, tapi seluruh keluarga bisa porak-poranda.
Suatu sore, Pak Surya duduk di ruang tamu sendirian. Ia menatap halaman belakang yang dipenuhi bunga yang sedang mekar. Dengan napas berat, ia mengambil telepon dan menulis pesan singkat pada seorang kerabat:
"Aku akan menginap di rumah lama beberapa hari. Ada urusan penting yang harus kulakukan di sana."
Andini, yang sedang di dapur, melihat pesan itu. Ia merasa lega sekaligus sedih. Lega karena jarak fisik akan memberi mereka waktu untuk menenangkan hati. Sedih karena kenyataan itu menyayat hatinya.
Malam itu, Pak Surya pergi. Andini berdiri di balkon, menatap mobil yang perlahan hilang di ujung jalan. Hujan ringan mulai turun, membasahi rambutnya. Ia menutup mata, membiarkan tetes air jatuh di pipinya, menumpuk rasa campur aduk: kehilangan, lega, dan kelegaan yang pahit.
Hari-hari berikutnya, rumah terasa sepi tanpa kehadiran Pak Surya. Andini mulai menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah dan hobi lama. Ia mencoba menulis di buku harian setiap malam, mencatat perasaan dan pergulatan batinnya.
“Menyakitkan, tapi aku tahu ini harus dilakukan. Kita harus menjaga yang lebih penting. Bagas… rumah tanggaku… hidupku… semua itu lebih berharga daripada perasaan yang salah ini.”
Pak Surya juga menjalani hari-harinya di rumah lama. Setiap kali hujan turun, ia memandang jendela, mengingat Andini. Rasa rindu tetap ada, tapi ia meneguhkan diri bahwa jarak adalah cara terbaik untuk melindungi keluarga dan martabatnya.
Mereka berdua belajar sesuatu yang sulit: terkadang, cinta bukan tentang memiliki. Terkadang, cinta adalah mengorbankan perasaan demi kebaikan yang lebih besar.
Dan meski luka menghimpit, mereka tetap berjalan di jalan yang benar, berharap waktu akan menenangkan semua perasaan yang tersisa.
