Bab 8 Cinta Terlarang Mertua dengan Menantu

Table of Contents

 

Cinta Terlarang Mertua dengan Menantu


Bab 8 – Pengakuan di Bawah Hujan

Hujan turun deras pada sore itu. Butiran air menghantam atap dan tanah dengan ritme cepat, seolah menegaskan kegelisahan yang tersembunyi di hati Andini. Ia berdiri di teras, menatap halaman yang tergenang air. Tanah basah mengeluarkan aroma khas, menenangkan sekaligus menyedihkan.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari arah halaman. Andini menoleh, dan melihat sosok Pak Surya muncul, basah kuyup karena hujan. Tanpa ragu, ia mendekat ke teras. “Pak… kenapa Bapak di sini?” tanya Andini, cemas sekaligus lega.

Pak Surya hanya tersenyum tipis, napasnya masih terengah. “Aku… aku harus bicara, Andini. Ini penting.”

Andini menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang berdebar. “Baik, Pak. Ayo kita duduk.” Mereka berteduh di teras, sementara hujan deras mengalir di sekitar.

“Din… aku harus jujur,” suara Pak Surya bergetar. “Perasaan ini… salah. Tapi aku tak bisa membohongi diriku sendiri. Sejak pertama kali aku melihatmu, ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang tak pernah kurasakan sejak lama.”

Andini menunduk, menahan air matanya. Jantungnya berdebar kencang. “Pak… kita tidak boleh… Bagas tak pantas dikhianati,” ucapnya, suaranya nyaris tersedak.

Pak Surya menatapnya lama. “Aku tahu, dan itulah mengapa aku memutuskan untuk pergi beberapa hari lalu. Aku harus menenangkan diri… harus menjaga jarak. Tapi saat hujan ini turun, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak mengakui perasaan ini padamu. Aku ingin kau tahu… aku merasakan sesuatu, meski aku tak akan menindaklanjutinya. Aku berjanji, tidak akan ada yang salah terjadi.”

Andini menutup mata, membiarkan tetes air hujan jatuh ke pipinya. “Aku… aku juga merasakannya, Pak. Tapi kita harus kuat. Kita harus menjaga hati Bagas, keluarga ini… dan diri kita sendiri.”

Pak Surya mengangguk, menahan kesedihan yang sama. Mereka duduk diam, membiarkan hujan yang deras menjadi saksi. Tidak ada kata-kata lagi yang perlu diucapkan. Pengakuan itu telah mengalir, tapi mereka berdua tahu bahwa perasaan itu harus dikubur demi kebaikan bersama.

Malam itu, Andini kembali ke kamarnya dengan hati yang berat, tapi sedikit lega. Pak Surya kembali ke rumah lamanya, menapaki langkah yang tepat meski menyakitkan.

Mereka belajar lagi: kadang pengakuan bukan untuk diikuti, tapi untuk dilepaskan, agar hati tetap utuh dan tidak menimbulkan kehancuran. 

BAB SEBELUMNYA<< >>BAB SELANJUTNYA